Senin, 21 September 2015

Cerpen Bekakak Ngakak



 BEKAKAK NGAKAK


“Masih ingat tradisi yang diwariskan leluhur, Pak?”
Cetar. Barangkali efek itulah yang membuat kepala Pak Lurah cenat-cenut. Diderita hingga tiga malam, melek menggelantung, pada kesunyian malam. Gelisah gara-gara ungkapan Sekretaris desa. Pertanyaan yang bisa dimaknai mengingatkan sekaligus menyidir. Semenjak itu perangai Pak Lurah kusut kayak kancut.
Karepmu piye tha Bah? Lontang-lantung setiap harinya.”
“Menggalau sungguh keadaan Abah.”
“Gula-galu. Mboh, apa maksudmu. Mending berangkat ke kantor sana.”
Sang istri mulai risih dengan kemurungan suaminya. Walaupun ia tahu penyebab dari kemurungannya apa. `
Safar. Desa Amket memiliki gawe penting setiap bulan Safar. Bagaimana saat Saparan, tepatnya hari Jumat minggu kedua. Amket akan begitu riuh oleh pagelaran yang dianggap melestarikan tradisi leluhur. Berpuluh ribu orang dari berbagai macam tampang, berdiri berjubel, penuh sorak kekaguman, memadati sepanjang jalan Amket. Tepatnya jalan yang dilewati arakan Bekakak. Ya, Bekakak inilah yang membuat Pak Lurah menggalau hingga berhari-hari lamanya.
“Kalian sudah berpengalaman, dana yang dibutuhkan tidak cukup sekali menjual mobil Jazz.”
Sembari jari telunjuk Pak Lurah ditudingkan ke arah mobil mengkilap terparkir di depan kantor kelurahan. Mobil yang terbeli dengan menjual sebidang tanah warisan mertuanya. Sedangkan perangkat lain, ada enam orang dengan jabatan yang berbeda-beda. Dari awal rapat hanya terdiam menyimak di kursi masing-masing. Namun seketika itu mereka terbius telunjuk Pak Lurah, sembari menoleh dan mengangguk-angguk paham.
“Apalagi di bulan ini kita juga memiliki agenda besar. Pemilihan Wali Kota.”
“Dua-duanya sama-sama penting.” Perangkat lain mulai ikut bicara.
“Sama-sama butuh anggaran dana.”
“Tapi mengingat kas kita yang pailit, mending kita jalankan satu agenda saja.” Pak Lurah semakin putus asa. Terlihat perangkat lain yang sebelumnya khusyuk menyimak, kemudian masing-masing mata sontak memandang tajam ke Pak Lurah.
“Satu agenda. Pilih yang mana?”
Pak Lurah diam, raut mukanya semakin pucat menggalau. “Pesta demokrasi Wali Kota. Ya, itu saja. Ini penting, memilih pemimpin masa depan kita.”
“Dimana pentingnya dibandingkan menghormati leluhur? Jelas-jelas leluhur sudah nyata memberikan kemakmuran hidup kita.” Sanggah ketus terlontar dari mulut Sekretaris.
Pak Lurah merasa tertusuk dengan pernyataan Sekretarisnya. Ia begitu paham dan sangat menghormati atas apa yang dikhawatirkannya. Maka itu, ia lebih memilih mengakhiri rapat tanpa suatu jalan temu. Dari pada berdebat dengan sekretaris mudanya. Namun seusai rapat, Pak Lurah memanggil sekretaris untuk ke ruangannya.
“Apa yang memberatkan Bapak tidak menggelar Bekakak tahun ini?”
“Dana. Pasti itu? Saya tahu kondisi keuangan desa. Tapi yang saya sesalkan kenapa Bapak begitu mudahnya putus asa.”
“Tidak menggelar Bekakak samahalnya Bapak melupa perjuangan leluhur. Secara tidak langsung pula, Bapak mengundang bencana yang siap menimpa warga Amket.”
Lagi-lagi Pak Lurah terdiam. Tidak menyangkal sekalipun penjelasan sekretarisnya dari awal masuk ruangan sudah nyrocos tanpa titik.
“Lha terus harus gimana?” terlontar melas. Roman Pak Lurah terlihat semakin putus asa.
“Solusi. Sekarang itu yang kita cari. Harus menjalankan kedua-duanya, tanpa menuai beban bagi kita.” Sekretaris terlihat berpikir keras. Sesekali terdengar ketukan sepatu high hills nya.
“Nah…begini Pak. Inti dari perayaan Bekakak tak lain penyembelihan pengantin Bekakak kan?”
“He’eh.”Pak Lurah mengangguk setuju.
“Sepasang pengantin inilah yang membuat anggaran dana membengkak. Mulai dari bahan pokok yang sekarang harganya melambung akibat kegalauan BBM. Dan juga proses pembuatan yang biasa melibatkan banyak orang hingga waktunya sampai semalam suntuk. Bagaimana kalau tahun ini pembuatan Bekakak diambil alih satu orang saja?”
“Maksudmu?”
“Saya punya kenalan. Ibu pembuat jajanan pasar, terkenal rasa kue-kuenya menggiurkan lidah. Ia sangat professional dengan profesinya. Kita suruh saja dia sebagai pembuat Bekakak.”
Seusai rapat intim dengan sekretarisnya, pada sore hari, Pak Lurah bersama istri bertandang ke rumah Ibu pembuat jajanan pasar. Ketika menemuinya, Pak Lurah melakukan semua apa yang disarankan sekretaris. Mulai dari gaya ramah tamah bertamu, tanpa adanya canda-tawa, sekali bicara langsung pada inti pembicaraan, dan yang terpenting jangan sampai ada tawar-menawar harga. Kata sekretaris, tarif jualan Ibu pembuat jajanan pasar dijamin jauh di bawah tarif normal. Alias murah meriah. Memang benar, seusai sang Ibu menyanggupi pesanan, Pak Lurah cukup membayar ratusan ribu saja. Padahal anggaran ratusan ribu, sudah memenuhi semua apa yang dibutuhkan perayaan Bekakak. Boneka sepasang pengantin, pernak-perniknya, ataupun atribut arak-arakan. Namun yang membuat Pak Lurah gelisah dan bertanya-tanya dalam diam, ketika bertatap muka dengan sosok Ibu beroman datar, tidak banyak tingkah, sekali ucap terlontar kata, iya dan terima kasih. Dalam benak Pak Lurah membenarkan apa yang dimisteriuskan sekretarisnya.
“Ibu pembuat jajanan pasar tidak bisa tertawa. Banyak orang bilang ia benci keriuhan!”
*
Mak Tin dan Arum. Perempuan gila bekerja. Sejoli yang adalah ibu dan anak, tiap waktunya hanya untuk di dapur, mamasak dan memasak. Seringkali tetangganya menegur, kalau mereka sungguh keterlaluan. Seolah-olah kesempatan hidup di dunia ini, hanya untuk urusan dapur dan berburu uang. Tapi apa yang dikata tidak memengaruhi sejoli yang memiliki keahlian membuat jajanan pasar secara turun-menurun. Mereka malah cuek dan asyik dengan profesinya.
“Serius, tekun, dan hasilkan olahan menggiurkan. Jangan bikin pelanggan kecewa!”
Walaupun perkataan ibunya terdengar sengau, tidak membuat Arum gagal memaknai. Arum paham, kali ini usahanya memeroleh pesanan skala besar. Mulai jam empat subuh, ia sudah sibuk di dapur. Sembari menepis rasa dingin di musim penghujan, tak lupa ia seruput secangkir kopi sekali-dua kali.
“Pesanan Pak Lurah diambil besok siang. Sebelum terselenggaranya midodareni di balai desa.”
Pesan Mak Tin sebelum dirinya berangkat menuju pasar menjajakan dagangannya. Sepeninggal kepergian ibunya, Arum sibuk sendiri di dapur. Ia mulai kesibukannya dengan menumbuk biji ketan hingga menjadi serbuk tepung di lumpang besar, kayu nangka. Jrukk…jrukk…Seketika hawa dingin yang sebelumnya menyeruak tubuhnya, kini terhasut oleh butiran-butiran peluh bercucuran.
Arum, menyadari bahwa dirinya perempuan sepi. Dalam hidupnya tidak pernah merasakan suatu kebahagian, selain bahagia karena setiap waktu ia sukses membuat kue dan membantu ibunya bekerja. Sebenarnya ia begitu berharap, kebahagian datang dari sumber lain. Entah berwujud apa. Sejak kecil, Arum tidak dikenalkan ibunya cara tertawa itu membuat hidup bahagia. Setiap harinya, ia selalu sepi selayaknya rumah yang dihuni.
Dua jam kemudian Mak Tin pulang dari pasar. Tanpa mengenal jam istirahat, ia bantu putrinya yang sibuk di dapur.
“Adonannya sudah siap. Tinggal Emak yang bikin pasangan bonekanya.”
He’eh, Nduk siapkan gula merahnya. Gula 4 kg itu dirajang semua ya…”
Tanpa keluh kesah, Arum menyanggupi perintah Ibunya. Pekerjaanya kali ini memang terberat, dibandingkan setiap harinya. Tapi Arum menepis rasa lelahnya jauh-jauh. Sebab baginya ada suatu kebanggan, ketika ia dan sang ibu dipasrahi Pak Lurah untuk membuat keperluan pagelaran Bekakak.
Di luar rumah sepi, alam meraya senja di musim hujan. Berbinar temaram jingga mengaura indahnya langit. Arum sudah menghabiskan beberapa jam untuk merajang gula merah yang digunakan selai dari boneka Bekakak yang dibuat ibunya. Gula merah ini nantinya akan mencair seperti aliran darah, ketika boneka Bekakak disembelih saat prosesi tumbal Bekakak digelar.
Adzan maghrib terdengar dikumandangkan. Arum beranjak dari dapur menuju sumur untuk berwudlu. Sebelum menunaikan sholat, Arum dibuat tercengang akan fenomena yang ternyata mampu membuat perubahan hidupnya. Seketika itu, ia menemukan hidupnya terang dan berbinar. Kemudian Arum mengetahui sejatinya cara tertawa. Dari hatinya yang sekian lama sepi, tercengang menyala. Ia benar-benar merasakan nikmatnya kebahagian dari tertawa. Bagaimana bermula dari ibunya, tiba-tiba tertawa terbahak-bahak tanpa jeda. Tertawa melihat pasangan boneka Bekakak yang dibuat tertukar kepalanya. Kepala laki-laki di tubuh perempuan, dan sebaliknya. Saat itu, Arum mengetahui kalau tawa ibunya, semerdu sholawat surga. Gemanya menghadirkan kedamaian di lubuk hati.
Mak Tin. Akhirnya kembali menemukan hasrat tawanya setelah sekian tahun tidak mampu menemukan cara tertawa. Semenjak menyaksikan langsung penyebab kematian sang suami. Menuai ajal, hanya gara-gara tersedak butiran pentol bakso.
*