Senin, 07 Juli 2014

Sarapan Iwak Tongkol, buat Bu Bambang….

Sarapan Iwak Tongkol, buat Bu Bambang…. 


(Entah…tersematkan semenjak kapan dan dari silsilah siapa, atau mungkin itu perwujudan estimasi seseorang, sebab dari polahnya terkonstruksi selayaknya biduan, ‘Bu Bambang’.) 
Pagi gembrayang. Tolek mbedadal mendang gempar. 
Mondar-mandir nang embong Terban. Terkulai telanjang Iwak Tongkol di tangan kanan, tertelungkap rapat Iwak Tongkol di tangan kiri. 
Tiap sepotong Iwak Tongkol tersaji dalam rantang. 
Kanan, terkulai memerah binal, cabe merah membumbu balado dijelujuran. 
Kiri, tertelungkup rapat dalam balutan daun pisang bekas bakaran, merupa gosong. 

Tok-Tolek, melenggang dihadapan Bu Bambang, pastinya penuh sopan, selayaknya laki dirinai keperjakaan. Bu Bambang mengerjap tawaran Tolek. Ehh…jilialah, Bu Bambang bernafsu yang kanan. Cep-incep, seketika roman kewarasan Bu Bambang terbakar, gerah. Mendesah-desah, huh..hah..huh..hah, sambil jempalikan memindai posisi pakaian, baju terusan, (entah apa sebutannya). Dahi mengkerut, rambut yang biasa tergerai hitam melambai, awut-awutan, menggila, mata bulatnya membabi, dan kemudian mulailah mencak-mencak kepedasan sambil mengibas-ngibaskan baju terusannya. Ehh…jilialah, Bu Bambang tak sadar, baju terusannya tersingkap! Dan, entah rejeki nomplok atau suatu ujian kealiman. Dalam posisi demikian, Tolek dan Tomcuk seketika langsung metenteng. 

Tiuunggg…. “Mulus tenan kentol-le Bu Bambang!” “@##$%&@#$$%&#.......” Tolek membatin, “Matamu cuk…!!” aku yang ngasih Iwak Tongkol, ora jelalatan koyok ngunu. Disunat pok, Wak Kaji, kapok koen!

SASTRA-WANGI TAK SELAMANYA WANGI: DJENAR MAESA AYU PADA CERPEN LINTAH, KAJIAN FEMINIS MARXIS


SASTRA-WANGI TAK SELAMANYA WANGI:
DJENAR MAESA AYU PADA CERPEN LINTAH


KAJIAN FEMINIS MARXIS 



 
  1. Latar Belakang: Sastra Wangi, Aura Terselubung
Sastra wangi muncul mewarnai kesusastraan Indonesia awal 2000-an. Aliran yang berciri khas penuh dengan ekspresi pengarang, bebas, dan terbuka terutama dalam mengangkat hal yang tabu, yang awalnya tidak layak diperbincangkan menjadi layak untuk dipublikasikan.1 Tentu saja yang paling dominan dalam sastra wangi adalah bidang seksualitas, baik dari segi psikologis maupun sosiologis karena sastra wangi mengandung unsur seksualitas yang frontal dan telanjang. Para penulis sastra wangi didominasi oleh perempuan-perempuan urban, sangat mencolok karena biasanya penulis sastra merupakan para lelaki. Para penulis sastra wangi menyuguhkan kehidupan yang selalu terlihat sebagai sisi gelap atau negatif dengan kemasan yang menarik dengan berbagai sudut pandang. Sastra wangi banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kaum karena membuat norma-norma yang sudah ada terlihat menyimpang.
Adapun penulis perempuan tergolong aliran sastra wangi diantaranya Ayu Utami, Fira Basuki, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu yang membawakan seks dengan cara yang anggun.2 Kemunculan istilah sastra wangi yang sarat dengan kevulgaran, serupa bacaan seks kelas rendah. Namun kenyataannya sebaliknya, sastra wangi di luar dugaan, begitu sarat akan makna. Perempuan digambarkan dalam lingkup patriarki yang kental. Sosok yang berusaha mendobrak paradigma kaku mengenai seksualitas, perkawinan, dan kehidupan melalui seksualitas. Penyampaian ini berada pada tataran sastra serius. Sastra wangi banyak mengangkat seksualitas, dan itu dijadikan sebagai isu yang paling menghantui kepala-kepala jelita para perempuan muda urban Indonesia, para perempuan yang konon berpendidikan tinggi dan mandiri secara ekonomi.
Model sastra feminis yang berkembang banyak dibilang pengamat sastra Indonesia telah dimotori oleh Ayu Utami. Ditandai dengan novelnya Saman yang memenangkan sayembara novel DKJ periode 1998, pasca itu banyak bermunculan karya sastra yang gaya penulisan ataupun tema yang diangkat tidak jauh-jauh dengan style Ayu Utami. Walaupun Menurut Katrin Bandel, tidak ada usaha baru yang dilakukan oleh para penulis wanita tersebut dalam mengusung tema feministik.3 Bahkan, ia meragukan alasan di balik reaksi pembaca terhadap karya Ayu Utami: Apakah itu karena adanya tema radikal baru yang terdapat di dalamnya? Atau karena karya sastra Indonesia sedang lapar akan tema-tema yang berkaitan dengan seks? Bagaimana dengan karya-karya klasik semacam Tjerita Njai Dasima-nya G.Francis dan Bumi Manusia-nya Pramoedya yang jelasjelas memperlihatkan sikap kritik terhadap pemerintah (kolonial) saat itu?
Karakteristik karya yang diusung golongan sastra wangi begitu kuat dan mendominasi pemberontakan kaum perempuan dari keterbelengguannya. Gaya penulisan yang cenderung bebas, lebih bersifat pop culture dan untuk sebutan sastra kanon, tampaknya sudah mulai ditinggalkan. Karya sastra yang dihasilkan lebih bersifat komersil. Ada pengaruh penerbit untuk menentukan bentuk maupun isi cerita. Kenyataan demikian ditandai dengan gaya penulisan anti konvensional dan anti logosentris memiliki tendensi “semi pop”, bahkan dinilai terlalu ambisius buat mendobrak dominasi budaya patriarki. Tapi sayangnya banyak pengamat sastra mengutarakan, bahwa alat dobrak yang diusung sastra wangi hanya mengedepankan seksualitas semata.
Seperti apa yang dikatakan Andi Budiman, seorang pengarang perempuan ingin digolongkan sebagai sastra wangi asalkan sebuah karyanya dengan berani melukiskan tubuh dan seksualitas perempuan, karya itu langsung dipuji-puji sebagai cermin “perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki”.4 Akibatnya penulis perempuan yang tidak menulis dengan tema ini dan gaya vulgar dituding tidak kritis terhadap patriarki, dengan demikian karya mereka seolah tak pantas dibaca oleh perempuan. Namun walaupun karya sastra wangi dikenal identik dengan mengusung tema pemberontakan akan diskriminasi ruang yang dialami perempuan, ternyata pakem itu tidak selamanya melekat dalam karya yang dihasilkan. Seperti apa yang dituliskan Djenar Mahesa Ayu dalam cerpennya yang berjudul Lintah.5 Dalam cerpen tersebut ada tokoh Ibu, Saya (seorang anak), dan juga tokoh Lintah. Lintah ini diceritakan sebagai kekasih Ibu, mereka sudah biasa memadu kasih, tinggal serumah ataupun berhubungan intim, walaupun hubungan mereka belum disahkan di mata agama ataupun Negara. Pada cerpen-cerpen lainnya Djenar biasa menceritakan sosok perempuan tegar, kuat, dan ambisius dalam menghadapi realitas, namun di cerpen Lintah ini Djenar melukiskan karakter perempuan yang lemah akan didaya kelamin laki-laki. Bagaimana tokoh Ibu selalu bertekuk lutut dengan apa yang dikatakan atau diperintahkan Lintah.
Apa yang terkonstruksi dari tokoh Ibu dalam cerpen Lintah menurut teori feminisme Marxis, bahwa perempuan distatuskan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti.6
Berdasarkan pemaparan di atas, melalui paper ini peneliti akan mengkaji cerpen Lintah karya Djenar Mahesa Ayu berlandasan teori feminis Marxis. Bagaimana kajian ini merumuskan persoalan Djenar dalam karyanya yang dikenal pengamat sastra Indonesia sebagai aliran sastra wangi yang identik mengusung tema feminitas, namun melalui cerpen Lintah, Djenar membuktikan tidak selamanya apa yang diamini pengamat sastra itu suatu keidentikan yang mengarah kebenaran.
  1. LANDASAN TEORI
Pada awalnya gerakan feminisme ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Aliran feminsme sesuai perkembangannya semakin berkembang menjadi anak cabang sesuai ideology yang diusungnya. Salah satu dari kesekian banyak anak cabang alairan tersebut adalah aliran feminism Marxis. Menurut Douglas Goodman (2011:37) aliran feminisme Marxis memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Goodman juga menyatakan bahwa laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari properti. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.

1 Dikutip dari artikel “Sastra Wangi, Feminisme, dan Generasi Baru Sastra Indonesia” ditulis oleh Anja Pradnyaparamita. Universitas Kristen Petra. Surabaya.

2 Agus Sulton. 2010.“Sastra Wangi Aroma Selakangan”. (www.kompas.com/artikel-sastra) diakses pada tanggal 14 Juni 2014.

3 Katrin Bandel, Sastra, Perempuan, Seks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), hlm. 5 dst.

4 Dikutip dari artikel “Ayu Utami: Tentang Iman dan Dosa”. (http://www.dw.de/ayu-utami-tentang-iman-dan-dosa/a-16768358) diakses pada tanggal 14 Juni 2014.

5 Djenar Mahesa Ayu. 2002. “Kumcer: Mereka Bilang Saya Monyet”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

6 George Ritzer dan Douglas Goodman. 2011. “Teori Sosiologi”. Bantul : Kreasi Wacana

IMPOTENSINYA PETISI PEGIAT SASTRA TOLAK BUKU 33 TOKOH SASTRA PALING BERPENGARUH TINJAUAN IDEOLOGIS DAN ESTETIS

-->

IMPOTENSINYA PETISI PEGIAT SASTRA TOLAK BUKU
33 TOKOH SASTRA PALING BERPENGARUH


TINJAUAN IDEOLOGIS DAN ESTETIS



 
-->

  1. PENGANTAR
Semenjak kemunculan buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh dihadapan pemerhati kesusastraan Indonesia, begitu banyak apresiasi dari mereka baik berupa penilaian bernada dukungan ataupun penolakan. Pemerhati yang merupakan akumulasi dari berbagai pegiat; pecinta sastra, akademisi, kritikus, dan satrawan memberikan suatu pernyataan atau komentar terhadap penilaian kemunculan buku tersebut yang dipandang dari berbagai aspek. Dari aspek waktu kemunculan, judul buku, daftar nama-nama sastrawannya, panitia penyelenggara, proses seleksi nama-nama sastrawan yang digadang-gadang ‘paling berpengaruh’, bahkan dugaan adanya sponsor terselubung di balik penerbitan buku tersebut. Bisa dibilang kemunculan buku tersebut menuai banyak kontroversi.
Dari pemerhati tersebut tergolong menjadi dua belah pihak, bagaimana terdapat pihak yang pro dengan kemunculan buku tersebut dan di lain sisi muncul pihak kontra. Adapun pihak pro, pastinya mereka tidak mempermasalahkan dengan kemunculannya atau mereka yang menjadi kawanan seideologi dengan tim 8 yang tidak lain tim penggagas buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh.1 Sedangkan pihak kontra, pastinya pihak yang tidak setuju atau menolak kemunculan buku tersebut. Salah satu pusaran polemik dari pihak kontra terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh adalah munculnya nama Denny JA dalam deretan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Denny JA, yang lebih dikenal sebagai konsultan politik, disejajarkan dengan nama-nama sastrawan besar seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer dan Ayu Utami.
Apabila mencermati polemic yang ada, sebab pencatutan Denny JA-lah yang menjadi polemic paling sater dari pihak kontra. Jika seseorang melakukan pencarian dengan kata kunci ‘polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh melalui kolom pencarian Google, pastinya banyak sekali situs-situs yang memberitakan polemic tersebut dari sudut pandang penilaian orang yang berbeda-beda. Entah keiukut sertaan mereka menanggapi polemic itu hanya sekedar ikut-ikutan atau memang karena mereka paham dengan akar polemic tersebut sehingga mereka memang layak untuk menyuarakan ketidakterimaannya. Ketidakterimaan akan polemic itu, mereka suarakan melalui jejaring social, blog, ataupun wawancara ekslusif oleh suatu media massa. Adapun isi dari ketidakterimaan itu begitu beragam komentarnya, bahkan tidak sedikit segala ungkapan cacian tercetus dari otak yang mayoritas merupakan otak dari seorang akademisi yang bisa dibilang melek akan teori sastra. Pada puncak dari aksi ketidakterimaan dari pihak kontra ini, termaklumat didalam sebuah petisi yang ditayangkan melalui situs change.org. Alasan mereka membuat petisi tersebut adalah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh dinilai telah mencederai integritas dan moral para ahli sastra, sastrawan, dan masyarakat. Serta anggapan dari mereka yang menilai buku tersebut menjadi preseden buruk karena berpotensi membuat masyarakat tersesat pengetahuan atau bahkan percaya pada klaim asertif serupa dalam tulisan-tulisan lain pada masa mendatang.
Akan tetapi, apabila dicermati semakin detail isi dari petisi yang dikepalai oleh Irwan Bajang dan kemudian mengatas namakan pecinta sastra, guru bahasa dan sastra, ahli atau kritikus sastra dan sastrawan. Serta, barangkali petisi yang digagas agar kelihatan lebih meyakinkan Irwan Bajang mencatut pula nama-nama pengamat sastra Indonesia yang namanya cukup populer di masyarakat sastra pada akhir isi petisi.2 Isi dari petisi yang sempat dibacakan oleh para penggagas di kantor Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada hari Jumat, tanggal 17 Januari 2014, apabila dicermati dan dipahami lebih teliti dari kalimat demi kalimat yang dituliskan terdapat kejanggalan yang patut untuk dipertanyakan atau barangkali adanya revisi ulang. Pada intinya isi petisi tertuliskan kalau pihak kontra ini menginginkan pembredelan terhadap buku tersebut, akan tetapi ternyata penyampaian maksud tersebut belum tersampaikan dengan akurat atau adanya ambiguitas makna. Berikut kutipan isi dari petisi yang menuai keambiguitasian makna.
Pertama, mendesak Kemendikbud untuk menentukan atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut….
Kedua, mendesak Kemendikbud untuk memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut….
Ketiga, mendesak Kemendikbud untuk mengambil langkah tegas pada buku tersebut hingga ke bentuk pelarangan edar secara permanen, sesuai prosedur hukum, apabila hasil pengujian menunjukkan adanya kesalahan fatal.

Keambiguan terdapat pada kata yang ditulis dengan huruf miring. Entah perihal keambiguan tersebut disadari tidaknya oleh penggagas, atau jangan-jangan mereka menuliskan isi petisi tersebut sekedar menuliskan dengan kata-kata tanpa memahami apa yang dituliskannya. Dari keambiguan tersebut memperlihatkan bahwa petisi tesebut seolah-olah dibuat penuh dengan keraguan atau sekedar gertakan semata untuk menjahili Tim 8 yang begitu ambisius merintis buku tersebut. Persoalan tersebut pula yang menimbulkan keraguaan terhadap keabsahan petisi tersebut dibuat. Apalagi petisi tersebut dibuat untuk ditunjukkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dalam paper ini, akan menitik beratkan persoalan tersebut sebagai rumusan masalah yang layak dikaji berdasarkan aspek ideologis dan juga estetis yang terkandung didalam isi petisi tersebut maupun latar belakang diterbitkannya.




  1. AMBIGUITAS MAKNA ISI PETISI: SEBAGAI PROSES KEHAMILAN ATAU MALAH IMPOTENSI?
Pada era cyber seperti sekarang ini seringkali masyarakat memanfaatkan petisi yang dimuat secara online untuk menyampaikan gugatannya terhadap suatu persoalan kepada pemerintah di suatu Negara. Fenomena seperti itu barangkali sudah menjadi suatu perihal lumrah dilakukan. Di Indonesia pun petisi seringkali disuarakan, seperti halnya ketika petisi yang dibuat oleh pegiat sastra Indonesia yang dimuat di situs www.change.org di awal tahun 2014, petisi tersebut ditujukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menolak beredarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh.
Petisi tersebut dipramotori oleh Irwan Bajang yang dikenal masyarakat sastra sebagai salah satu dari sekian pegiat sastra yang ada di Yogyakarta. Dalam isi dari petisinya, Iwan dan mengatasnamakan pecinta sastra, guru bahasa dan sastra, ahli atau kritikus sastra dan sastrawan, mengajukan petisi yang pada intinya ia menginginkan pemerintah untuk membredel beredarnya buku yang digagas Tim 8 tersebut. Seolah-olah petisi tersebut dipublish diselimuti rasa amarah dan geram terhadap apa yang dilakukan Tim 8 dan juga beredarnya buku tersebut. Akan tetapi, apabila dicermati isi dari tulisan petisinya dilihat dari segi pemaknaan yang ingin disampaikan, terlihat jelas bahwa petisi tersebut masih ada kejanggalan-kejanggalan yang sepatutnya perlu adanya susunan ulang dari kata perkalimat yang dituliskan. Berikut isi dari petisi yang terdiri dari tiga poin penting, dan melalui paper ini akan dikaji secara mendalam dari aspek maknanya.
  1. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk menunda atau menghentikan sementara waktu peredaran buku tersebut.
  2. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengadakan atau memfasilitasi pengkajian ulang isi buku tersebut, yang di dalamnya termasuk pengujian validitas metode pemilihan 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Yang dimaksud sebagai pengujian validitas metode pemilihan di sana adalah pengujian terhadap ketepatan prinsip-prinsip metode, peraturan atau kriteria, postulat atau dalil, bukti, pembuktian, dan argumentasi.
  3. Mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk mengambil langkah tegas pada buku tersebut hingga ke bentuk pelarangan edar secara permanen, sesuai mekanisme dan prosedur yang ada, termasuk hukum, apabila hasil pengujian menunjukkan adanya kesalahan fatal metode pemilihan dan isi buku tersebut. 3

Berdasarkan pembacaan pada isi petisi poin 1, menyiratkan pesan yang ingin disampaikan, bahwa bihak pembuat petisi meminta pemerintah untuk segera ikut campur atau mengambil tindakan terhadap beredarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. Akan tetapi, pada petisi poin 1 ini terdapat kejanggalan dari pilihan kata yang dituliskan. Tepatnya pada kata menunda atau menghentikan sementara, apabila dimaknai secara gramatikal makna dari kata menunda adalah mengundur waktu pelaksanaan. Berarti apakah Irwan Bajang dan komplotonnya mengharapkan melalui petisi tersebut hanya sekedar berharap kepada pemerintah untuk mengundur waktu pelaksaannya saja dari beredarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. Padahal apabila mesebandingkan dengan apa yang sudah disuarakan oleh Dwi Cipta salah satu perintis petisi tersebut dalam wawancaranya dengan wartawan situs portalkbr.com, Dwi mengungkapkan ia bersama teman-teman akan meluncurkan petisi untuk memboikot buku itu. Berarti apakah benar makna dari ‘memboikot’ tersebut dimaknai sebagai menunda sementara?
Kemudian pada poin ke 2 dari isi petisi, tertera kata ambigu; mengadakan dan memfasilitasi. Dimana Irwan Bajang dan komplotannya mengharap dari pemerintah untuk menyelenggarakan suatu pengkajian ulang terhadap isi buku tersebut demi menguji validitasi metode untuk menentukan 33 sastrawan paling berpengaruh. akan tetapi, dengan adanya diksi mengadakan dan memfasilitasi dimaknai pihak pembuat petisi ini ingin melakukan suatu pembredelan sebuah buku yang pastinya aktivitas pembredelan tersebut identik dengan perbuatan yang berapi-api sepertihalnya pahlawan yang ingin menghunus musuh dengan ketajaman pisaunya. Tetapi apa yang dilakukan Irwan Bajang tidak selayaknya seorang kesatria, walaupun ia memiliki sisi ambisinya seorang ksatria dalam menumpas darah sang musuh, tapi di lain sisi ia memiliki rasa belas kasihan atau ragu-ragu terhadap musuh yang ingin dibunuh. Sehingga ia sempat memberikan tawaran kepada musuh ‘kau kabur saja sebelum aku bunh!’. Entah Irwan Bajang menyadari keambiguitasinya tersebut apa tidak. Tetapi yang jelas dari kalimat isi petisi poin ke 2 tertera demikian.
Sedangkan poin ke 3, keambiguitasian terlihat pada pilihan kata permanen dan apabila. Bagaimana seharusnya di isi petisi poin ke 3 ini, seharusnya dimaksudkan dengan tegas menuntut pemerintah untuk melakukan pengambilan tindakan pemboikotan perederan buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh, akan tetapi apa yang tertera dalam isi petisi pihak Irwan Bajang hanya memberikan pemboikotan sementara terhadap buku tersebut. Apalagi di lain sisi ternyata Irwan Bajang juga masih ragu dengan tuntutannya, hal tersebut tersirat dari kata apabila berarti dari situ dimaknai bahwa sebenarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh sebenarnya pembodohannya masih diragukan. Apakah buku tersebut benar-benar melakukan pembodohan dan penghitaman terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia, apa tidak?
Dari ketiga poin penting petisi tersebut, dapat dimaknai bahwa petisi tersebut dibuat dengan penuh keraguan dan terlihat asal-asalan tanpa adanya sebuah keabsahan materi seperti selayaknya sebuah petisi. Memang apa yang ingin disuarakan Irwan Bajang beserta komplotannya dalam petisi tersebut terlihat berapi-api, akan tetapi apabila diibaratkan api yang dikobarkan bukan selayaknya api kesumat membara, tetapi api sebuah lilin. Hal tersebut yang mengindikasikan bahwa petisi untuk pemboikotan buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh dimaknai sebagai suatu usaha impotensi. Dari luar terlihat hasrat bercumbunya begitu membuncah gerah, tetapi ternyata hasrat itu hanya sebuah luapan semata sebab hasrat telah dimatikan dengan lemah syahwat.

  1. KESIMPULAN
Barangkali apa yang dilakukan Irwan Bajang dan komplotannya dengan membuat sebuah petisi terhadap pemboikotan beredarnya buku 33 Tokoh Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh meniru gaya pemerintahan orde baru. Dimana pemerintahan orde baru banyak melakukan pembredelan atau pemboikotan terhadap sejumlah buku dan media massa karena dianggap tidak sejalan dengan alur pemerintahan yang dicanangkan oleh pemimpinnya pada masa itu. Akan tetapi, apa yang dilakukan Irwan Bajang dengan munculnya petisi tersebut seolah-olah bentuk dari kegagalan sebuah usaha pemboikotan. Maklum saja apabila pihak yang diboikot tenang-tenang saja menanggapi serangan petisi yang sampai sekarang ini sudah ditanda tangani 1000 responden. Bahkan pihak yang diboikot ini pun menilai kalau apa yang dilakukan Irwan Bajang dan komplotannya sebuah keirian semata karena tidak mampu menghasilkan karya.

DAFTAR REFERENSI

Bawono, Mamayu Hayuning. Buku-buku yang Sempat Dilarang. (http://waroengbhatik.wordpress.com/2010/10/14/buku-buku-yang-sempat-dilarang/). Diakses pada tanggal 21 Juni 2014.



Fawaid, Achmad. 2014. Paper: Kontiunitas dan Diskontuinitas Kontroversi Buku 33 Sastrawan Indonesia Paling Berpengaruh. prodi S2 Ilmu Sastra, FIB, UGM.

Laksana, A.S. 33 tokoh Sastra Sebuah Kejahatan. (http://as-laksana.blogspot.com/2014/01/33-tokoh-sastra-sebuah-kejahatan.html). Diakses pada tanggal 21 Juni 2014.



1 Buku ini disusun oleh Tim 8 yang beranggotakan Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S.Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah.

2 Petisi Pegiat Sastra Tolak Buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh yang dimuat disitus (http://www.change.org/id/petisi/ayo-tanda-tangani-petisi-terhadap-buku-33-tokoh-sastra-indonesia-paling-berpengaruh/opinions) Petisi ini dinahkodai oleh Irwan Bajang dan diakhir isi petisi juga terpampang nama inisiator diantaranya Saut Situmorang, Dwicipta, Eimond Esya, Faruk HT, Nuruddin Asyhadie, Wahyu Adi Putra Ginting.

KONSTRUKSI WACANA PAHLAWAN DEVISA, ANTARA ‘SANJUNGAN’ DAN ‘PENISTAAN’ DALAM FILM MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK

-->
 
-->
KONSTRUKSI WACANA PAHLAWAN DEVISA,
ANTARA ‘SANJUNGAN’ DAN ‘PENISTAAN’
DALAM FILM MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK

KAJIAN WACANA FEMINISME SARA MILLS 



 
1.1 Latar Belakang
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah sebutan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, dalam artian dipekerjakan bukan karena prestasi akan penguasaan ilmu pengetahuan di suatu bidang, akan tetapi dipekerjakan karena ‘tenaga, okol, atau keterampilan mereka untuk menjadi buruh,’ entah menjadi buruh pabrik, muebel, PRT (pembantu rumah tangga). Bahkan TKI mendapat gelar kepahlawanan dari pemerintah, sebagai ‘Pahlawan Devisa’, karena setiap tahun mampu menghasilkan devisa puluhan triliun rupiah untuk Negara. Mampu menghasilkan uang hingga triliun-an rupiah tiap tahunnya karena banyak Negara-negara yang berkeinginan merekrut tenaga kerja dari Indonesia. Menurut surve suatu lembaga pengamat TKI, adapun Negara-negara yang merekrut Tenaga kerja Indonesia (TKI) diantaranya: negara Timur Tengah (Arab Saudi, Pakistan), Asia Timur (Jepang, Hongkong, Korsel dan Taiwan), Asia Tenggara (Malaysia, Brunai dan Singapura), bahkan ada pula dari beberapa Negara di benua Eropa dan Amerika. Dari beberapa Negara tersebut, lebih banyak merekrut tenaga wanita dari Indonesia (TKW) dibandingkan dengan laki-laki, dan kebanyakan TKW tersebut dipekerjakan sebagai PRT.
Kesulitan ekonomi keluarga menjadi alasan utama bagi mereka untuk berani mengadu nasib ke negeri orang. Selain itu, minimnya kesempatan kerja di dalam negeri juga dijadikan alasan. Melihat keberhasilan teman-teman yang sudah menjadi TKW terlebih dahulu dalam mengangkat derajat ekonomi keluarga juga menjadi salah satu motivasi kuat para TKW. Dengan banyaknya TKW yang bekerja di luar negeri, maka banyak juga devisa yang dihasilkan oleh mereka untuk Negara. Sebutan pahlawan devisa bagi mereka bukan basa-basi. Pada awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, kiriman uang dari TKI mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 16 triliun. Dari tahun ke tahun jumlahnya berlipat. Dan di tahun 2013, kiriman mereka diperkirakan mencapai US$ 7,1 miliar atau sekitar Rp 63 triliun.1 Walapun menghasilkan devisa yang banyak bagi negeri, namun TKW tetap saja mendapat perlakukan sebagai rakyat kelas dua oleh berbagai pihak. Mereka harus menghadapi perlakuan yang tidak baik dari calo-calo TKW, Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), bahkan perlakuan yang kurang baik juga didapatkan dari pramugari pesawat yang membawa mereka.
Dengan melihat kisah-kisah yang dialami para TKW Indonesia, maka tidak mengherankan bahwa ketika mendengar nama TKW, yang tercipta dalam benak seseorang adalah bahwa TKW selalu bernasib buruk dan mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari majikannya. Namun, cerita berbeda datang dari para TKW yang mengadu nasibnya di Negara Hongkong. Kehidupan TKW di Hongkong adalah seperti apa yang digambarkan dalam film Minggu Pagi di Victoria Park . karya Lola Amaria yang dirilis di bioskop nasional pada Juni 2010.3 Walaupun mereka hampir tidak pernah mengalami kasus kekerasan, namun bukan berarti TKW di Hongkong tidak mengalami masalah. Banyak dari mereka yang terjerumus ke dalam pergaulan yang salah sampai terjerat akan masalah hutang. Seperti yang dialami Sekar (Titi Sjuman) seorang TKW asal Jawa Timur dalam film Minggu Pagi di Victoria Park (selanjutnya disingkat dengan ‘MPVP’).
Dalam film, diceritakan Sekar terjebak hutang pada lembaga hutang bernama Super Credit. Ia dituntut untuk selalu membahagiakan orang tuanya. Dan karena Sekar tidak bisa membayar hutang dan bunganya, akibatnya passport Sekar ditahan sehingga ia tidak bisa bekerja secara legal. Sementara itu, Mayang (Lola Amaria) adalah seorang petani tebu yang pergi ke Hongkong untuk menjadi TKW atas suruhan sang Ayah. Ayah Mayang ingin ia mencari adiknya, Sekar, yang tidak pernah lagi memberi kabar pada keluarga. Sebenarnya, antara Mayang dan Sekar ada hubungan sibling rivalry alias permusuhan antar saudara. Dari permasalahan yang terjadi antara Mayang dan Sekar, penonton dapat mengetahui berbagai masalah lain yang dihadapi oleh para TKW di Hongkong.
Belum banyaknya film-film Indonesia yang bercerita tentang perjuangan dan kekuatan seorang wanita dalam memperjuangkan hidup di negeri orang. Film MPVP mencoba menarik perhatian penontonnya dengan menggunakan peluang kisah buruh migran sebagai TKW di Hongkong. Terdapat sebuah hegemoni dan dominasi media yang terus membunyikan adanya dominasi negara dan keluarga terhadap TKW. Relasi kekuasaan berperan dalam penciptaan ruang menjadi TKW yang dilakukan oleh negara. Keterlibatan peran negara terwujud dalam bentuk institusi dan kebijakan-kebijakan yang diciptakan guna melanggengkan wacana Pahlawan Devisa yang sekaligus merupakan bentuk komodifikasi dari wacana tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bahwa selama ini pertanyaan tentang mengapa wanita dianggap ‘marjinal’ di dalam bidang produksi dijawab dengan argumen bahwa mereka lebih dominan di dalam tontonan (spectacle). Marjinalisasi wanita di dalam bidang produksi dan dominasi mereka sebagai obyek ‘tontonan’ sering menjadi ideologi utama media-media, termasuk di Indonesia (Ibrahim dan Suranto, 1998:xiii). Selain permasalah tersebut, penelitian ini akan mengkaji makna yang terkandung dalam film sebagai salah satu media dalam upaya mengonstruksi wacana ‘Pahlawan Devisa’ dan peran pemerintah terhadap TKW di Hongkong yang terefleksi dalam film MPVP. Sedangkan tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui kehidupan TKW dan menjadi siapa para TKW Indonesia direpresentasikan dalam film MPVP. Sebab film sebagai media melalui ideologi yang dimilikinya tidaklah bersifat independen.


2.1 LANDASAN TEORI
2.1.1 Wacana Feminisme Sara Mills: Perempuan Terkonstruksi Teks, Teks Merekonstruksi Perempuan
Adapun pendekatan teori yang digunakan untuk dijadikan perangkat analisis dalam penelitian ini adalah analisis wacana feminisme Sara Mills. Mills memusatkan perhatiannya pada wacana mengenai feminisme: bagaimana wanita ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, film, gambar, foto, ataupun dalam berita. Titik perhatian dari perspektif wacana feminis adalah menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan wanita.4
Sara Mills menampilakan wanita dalam teks lebih melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subjek pencerita dan siapa yang menjadi objek pencerita akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis ditampilkan dalam teks (Eriyanto, 2009:200).

2.1.2 Kerangka Analisis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis Sara Mills: bagaimana aktor sosial dalam berita tersebut diposisikan dalam pemberitaan sapa pihak yang diposisikan sebagai penafsir dalam teks untuk mamaknai peristiwa dan apa akibatnya.5 Pendekatan yang ditawarkan Sara Mills tersebut didasarkan pada konsep yang dikemukakan oleh John Fiske tentang The Codes of Television, dimana konsep ini menyatakan bahwa peristiwa yang ingin di tayangkan telah dienkode oleh kode-kode sosial, yaitu Level Reality, Level Representation dan Level Ideology. Unit analisis yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah teks dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. Teks di sini terorganisasi dalam kode-kode yang merepresentasikan bagaimana perempuan khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) digambarkan dalam film MPVP.
1 Dikutip dari artikel, “Pahlawan Devisa Itu Terpuruk di Negeri Orang”. (http://berita.liputan6.com/sosbud/) diakses pada 14 Juni 2014.

2 Intan Paramaditha. 2008. “Perspektif Gender Dalam Kajian Film, dalam Jurnal Perempuan No. 61.” Yayasan Jurnal Perempuan.

3 Minggu Pagi di Victoria Park besutan Pic[k]lock Production. MPVP merupakan film drama Indonesia yang dirilis pada 10 Juni 2010 dengan disutradarai oleh Lola Amaria yang dibintangi antara lain oleh Lola Amaria dan Titi Sjuman. Adapun penghargan yang diperoleh: Titi Sjuman menang kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik versi Indonesian Movie Awards 2011. Sedangkan Ella Hamid mendaptkan penghargaan Pendatang Baru Wanita Terfavorit dan Fitri Bagus menang kategori Pendatang Baru Wanita Terbaik.

4 Sara Millis. “Diskursus Sebuah Piranti Analisis dalam Kajian Ilmu Sosial.” Jakarta: Penerbit Qalam. 2007.

5 Ibid, hlm. 74.