Jumat, 24 Mei 2013

Cerpen Mata Menggantung Dunia



MATA MENGGANTUNG DUNIA
Oleh Midun Aliassyah*






Saat itu, entah Tuhan berada di mana!
Pada mulanya adalah sebutir air mata. Sekelompok sel kecil berbentuk anggur yang berbaris di pinggir kelopak mata atas dan bawah, tepat di balik bulu mata. Menjadikan mata menggantung lara, dan aku memercayainya jika air mata yang aku punya merupakan anugerah. Bukan air mata biasa, pasti sedikit orang bernasib sama denganku. Aku cukup bangga, dengan penderitaan yang aku alami. Karena kebanggan inilah yang membuatku bertahan hidup.
Kali ini, aku benar-benar merasa tersiksa. Siksaan yang melebihi deritanya ketika aku tak makan lima hari. Dan perihal tidak makan itu memang sudah menjadi garis nasib yang menjadikan kebiasaan, dan aku sangat memahami. Tetapi apa yang aku derita, serasa berlari mendekati ajal. Badan demam, menggigil, tulang terasa lunglai, linu merejang, tak ada daya di bawah guyuran hujan deras bulan Desember. Di bawah naungan pohon jambu yang rimbun memang bisa dijadikan tempat berteduh, tapi percuma, sebab kali ini hujan turun deras sekali.
Aku sadar, kalau sebenarnya tempat yang aku jadikan berteduh bukanlah tepat. Tapi mau bagaimana lagi. Sebelumnya, aku benar-benar kebingungan dan tenaga yang aku punya sudah habis untuk mencari tempat layak, rasa capek sungguh menyergapku luar biasa. Gara-gara setelah lari terpontang-panting di sela-sela jalan kecil gank perumahan Bandur Permai. Atas usaha yang aku perbuat untuk menghindari kejaran Om Surya. Dan gerimis pun datang saat aku terengah-engah menata nafas setelah berhasil menghindari kejaraan penjabat gila yang ingin mencelakakanku. Helaian rambutku mulai basah, rasa dahaga mulai menyerang, dan aku benar-benar butuh sesuatu untuk diminum. Tapi apa aku punya? Tidak. Dengan terpaksa aku menengadahkan tangan untuk menampung air hujan. Tangan kecilku ternyata tak cukup untuk menjadi cawan, akhirnya kepalaku menengadah ke langit gelap dan mulut terbuka lebar. Lumayan, tak ada gelas mulut pun tetap mampu meneguk air.
 Langit semakin menggelegar, petir kelihatan terang menghunus ke daratan bumi. Semakin lama hujan pun semakin ganas menjatuhkan diri dari langit. Lebat, butirannya begitu kasar bersentuhan dengan pipi. Air mataku bercampur dengan kesucian hujan. Putih merah. Kepala terasa terpukul-pukul oleh benda kecil yang tak wujud itu, sakit. Kemudian aku berteduh di bawah pohon jambu yang tak jauh dari tempatku berdiri. Dengan harapan aku bisa terlindungi dari amarah hujan. Tapi berselang beberapa waktu kemudian, tubuhku menggigil, aku merasakan kedinginan yang amat sangat. Gigiku bergemrutuk mengadu, kedua tanganku menyilang mendekap erat badan, lama-lama kedua kaki tak mampu menopang lagi. Air mataku berhenti menetes, terganti dengan air mata bumi. Akhirnya aku merebahkan tubuh di atas trotoar di pinggiran jalan. Dan aku tak tahu, sekarang berada di mana. Yang pasti sekarang aku berteduh di bawah pohon jambu lebat, berbuah kesumba ranum, tumbuh subur di depan rumah sederhana yang memiliki pagar tak cukup tinggi untuk dijangkau. Aku merasakan penderitaan. Antara harapan dan ajal.
*** 

Pagi sudah berayun-ayun memainkan embun yang berjatuhan. Siang beranjak, diterjang mentari yang memanggang ujung daun dan menelanjangi kegagahan gedung-gedung bertingkat. Dan petang yang dinantikan masih terlelap, dan sebentar lagi akan terjaga kembali mengiringi rona-rona gemilang lampu pijar penerang kehidupan Kota.
Terpojok. Aku selalu sendiri menggiring hingar-bingar kekalutan orang-orang Kota. Terkadang aku menyelinap pada bayang tungkai yang melenggang begitu saja. Terkadang pula aku berusaha meraih keegoisan mereka jika tak memedulikanku. Atau aku berpura-pura untuk mengutil belas kasihnya dengan cara merupa wajah melas demi sekeping recehan di antara kartu kredit tersimpan. Itu saja yang aku lakukan terhadap orang-orang Kota, dan tak lebih karena aku sadar sebagai seorang Anjal, si Anak Jalanan.
“Anjali....”
            Serasa ada yang mengenal identitasku. Dengan sergap kutoleh sumber suara itu berasal.
“Akhirnya aku menemukanmu!”
Benarkah orang ini mengenal namaku? Tapi siapakah dia. Sebelumnya aku tidak pernah menemui wajah Laki-laki seperti ini. Memakai baju rapi dan beralas sepatu pantofel yang sedikit membuat penglihatan jadi silau ketika memandang.
“Ayo ikut saya. Ada orang yang menunggumu di sana!”
Laki-laki itu berkata seraya senyum kepadaku, dan sekejap itu aku menganggap dia bukanlah orang jahat. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke arah mobil mewah yang ada di seberang kanan jalan. Dan aku melihat sesaat, langsung terkesima. Aku mengikuti ajakan si laki-laki dan melangkahkan kaki mengarah ke tempat mobil itu terparkir.
Tanpa basa-basi aku disuruhnya masuk ke dalam mobil. Sedikit terlintas keraguan di benakku, tetapi, hmm...aku merasakan kenikmatan. Ternyata mobil ini kemewahannya tidak hanya terlihat dari luar. AC, full musik, dan juga tempat duduk yang nyaman. Di dalam mobil aku berkenalan dengan Laki-laki paruh baya. Ia berpawakan lebih elegan. Laki-laki ini juga sangat baik, keramahan dan rasa peduli ia curahkan kepadaku. Padahal aku gadis bau, tak baik untuk dihirup hidung Laki-laki kaya seperti dia. Perihal bau sepertinya memang kodratku, maklum saja, karena aku tidak mengenal mandi, ganti baju, intinya aku tidak mengenal kebersihan. Dan ternyata ia tahu kalau aku kelaparan, dan diajaknya aku ke suatu rumah makan yang ada di pusat kota.
Sebelum sesampainya di rumah makan yang dituju, aku diajak Om Surya mampir ke toko pakaian. Ohiya, aku sekarang memanggil laki-laki paruh baya ini dengan sebuatan Om Surya. Dia yang menyuruhku, aku-pun tidak keberatan. 
Wahh...aku begitu kagum dengan semua apa yang aku lihat sekarang. Beraneka pakaian anak terpajang rapi di sana-sini. Mengagumkan. Jujur, ini baru pertama kalinya aku masuk ke toko pakaian anak, biasanya aku hanya cukup memandangi dari luar atau hanya bisa iri melihat orang tua menggandeng ananknya keluar dari toko sambil menjinjing tas pembungkus pakaian yang dibeli.
Sekarang aku seorang gadis cantik. Itu pujian dari Om Surya. Dan aku senang jika ada orang menyebutku cantik. Menawan. Satu jam kemudian, tidak membutuhkan waktu lama aku sudah menghabiskan semua makanan yang terhidang di depanku. Om Surya tidak ikut makan, ia hanya senyum-senyum melihat aku terburu-buru melahap semua makanan. Aku begitu kekenyangan. Dan hari ini adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupku.
***

“Perkenalkan namaku Anjali. Nama kamu siapa?”
Aku menedekatinya, ingin kupeluk begitu saja gadis yang malang ini. Dia terlihat manis, seusia denganku. Gadis ini pun juga memakai pakaian yang bagus. Namun sayangnya ia tidak memiliki sepasang mata cantik sepertiku. Gadis malang ini ternyata tidak menggubris kedatanganku. Ia masih diam saja, duduk sambil memegangi boneka Tedy Bear lucu di atas ranjang tidur.
“Beginilah kondisi Rara. Anak Om satu-satunya. Ia menderita seperti itu semenjak kelas lima SD. Gara-gara peristiwa nahas yang sulit untuk Om ceritakan.”
 Suara Om Surya terdengar sayu, aku jadi sedih mendengarnya.
“Bagaimana Anjali, apakah kamu mau membantu Om?” Om Surya mendekatiku, tangan kanannya mengelus-elus helaian rambutku. Aahh...serasa aku memiliki seorang Bapak.
“Menolong untuk apa Om?” aku mencoba menimpali pertanyaan.
“Memberikan pertolongan demi kesembuhan Rara. Biar dia mampu melihat keindahan dunia.” Dari kedua pelupuk mata Om Surya meneteskan air.
Om Surya kemudian memeluk tubuh mungilku.
“Bagaimana, apa kamu bisa menolongnya?” Dari pelukan, Om Surya beralih menatap kedua mataku. Dan aku lebih tak kuasa memandangnya. Dan ini sudah menjadi kebiasaan, karena aku tak suka jika ada seseorang menatap mataku. Intinya aku tak rela orang lain melihat sesuatu dari mataku.
***

Keesokan harinya, aku diajak Om Surya berkunjung ke salah satu rumah sakit terkenal yang ada di kota. Ternyata di rumah pesakitan ini, aku akan dipertemukan dengan dokter spesialis yang biasa merawat Rara.
Sepanjang menyusuri koridor rumah sakit, Om Surya selalu menggandeng tanganku. Seperti anak dan bapak. Ketika kami lewat, orang-orang yang ada di rumah sakit selalu memerhatikan aku dan Om Surya. Ada yang memberikan anggukan hangat, sekedar sapaan, bahkan ada pula yang menjabat tangan Om Surya. Walaupun sapa atau jabat tak ada yang mengarah padaku, tapi aku cukup bangga berada di sisi Om Surya. Serasa aku menjadi artis yang disambut sang penggemar.
Ketika mendatangi dokter, Om Surya dapat menemuinya tidak sesulit orang-orang lain. Dan aku dengar dari perbincangan orang-orang di depan ruang, bahwa ada yang sudah mengantri dua jam. Aku heran kenapa Om Surya berbeda! Tapi tak apalah, pikirku mungkin Om Surya merupakan sahabat dokter, jadi ia tidak perlu mengantri.
“Oh ini ya anak yang menjadi pendonor mata untuk Rara. Mata kamu cukup elok.” kata Pak Dokter setelah menyapaku.
Om Surya mengangguk. Dan sekejap itu, kebingungan merajai otakku. Sebenarnya apa tujuan dari Om Surya mengenalku? Apa benar yang dibilang Pak Dokter? Dan anehnya, pertanyaan yang seharusnya aku pertanyakan di awal, kenapa baru aku pertanyakan sekarang!
Saat itu pula aku keluar dari ruang periksa. Aku berlari di antara gerombolan orang. Tak aku pedulikan teriakan Om Surya memanggil namaku. Tidak sedikit orang yang memerhatikan. Aku tak peduli, terus berlari ke arah pintu  keluar rumah sakit.
 Ternyata Om Surya tidak menyerah begitu saja. Ia tetap mengejarku. Akupun semakin mengencangkan langkah lariku. Tak peduli ada orang, ataupun sesuatu yang menghadang jalan. Dan tanpa aku sadari, air mataku serasa akan mengalir. Aku takut jika hal ini terjadi. Sebab aku tak ingin ada orang melihat air mata yang aku punya. Ini harta satu-satunya yang paling berharga, aku harus menjaganya. Air mata merah.
  Dalam lari, aku tak henti-hentinya berpikir tentang kejadian yang baru saja terjadi. Mengulang peristiwa, pertama kali kenalan dengan Om Surya, Rara dan juga seorang Dokter yang memberitahuku dari percakapannya, bahwa Om Surya ternyata seorang Wali Kota. Perkenalan sesaat, namun membekas amat dalam batin. 
Lagi-lagi aku menyalahkan diriku, aku terlalu liar untuk mengenal orang. Seharusnya tak semudah itu aku percaya dengan orang yang baru aku kenal. Walaupun orang yang mengenalku seorang Wali Kota yang kaya harta. Aku benar-benar menyesal berkenalan dengannya, Om Surya. Mungkin ini pelajaran berarti bagiku. Orang kaya selalu berkuasa di atas penderitaan orang terlantar sepertiku. Jadi semau-maunya ia ingin berbuat apa, walaupun itu akan berakibat menyakitkan atau menghilangkan nyawa. Tetapi baginya, mungkin ini suatu hal biasa jika ia lakukan terhadap kaum sepertiku. Aku bersumpah, tidak akan lagi memercayai orang seperti Om Surya.
***