Selasa, 22 Februari 2011

Cerpen Midun Aliassyah

Fatamorgana
Oleh: Midun Aliassyah & ZN


Rintik-rintik gerimis teratur berjatuhan di antara terik mentari yang panas menimbulkan bau yang tak sedap. Di ujung jalan terlihat cahaya terang pantulan senja yang indah. Aku duduk di depan teras kosanku yang sempit. Mata memandang senja terlihat bias warna merah keunguan. Melamun. Khayalanku terbang jauh, tinggi setinggi-tingginya. Terlintas dalam pikiranku, seandainya aku menjadi orang kaya dengan perusahaan sukses di bidang tekstil. Pastinya tiap hari aku akan menjadi orang kaya dengan mobil mewah buatan Jerman. Berdasi, memakai jas dan sepatu mengkilap dan menenteng tas sungguh nampak begitu wibawanya. Dan setiap aku berjalan melewati ruang-ruang karyawanku, pastinya karyawanku akan menyapa dan mengucap salam kepadaku.
“Selamat pagi pak!”
Tak ketinggalan, sekertaris cantik pastinya akan selalu memenuhi panggilanku kapanpun aku mau. Ahhh, begitu nikmatnya hidup ini….
Duuooorrr… secerah cahaya dari langit melerai disusul ledakan keras. Petir. Suaranya membuyarkan semua khayalanku secara tiba-tiba. Tapi memang, aku begitu menikmati khayalanku. Begitu gemuruh di langit berhenti sesegera mungkin khayalanku melambung lagi. Kali ini aku berandai-andai ingin menjadi seorang penulis best seller, teatris, atau mungkin sutradara film sukses. Anganku kali ini baru masuk akal. Cocok dengan jurusan kuliah yang aku tempuh. Sastra Indonesia.
Kubayangkan seandainya aku bermain drama, teater, mendeklamasikan puisi, atau bahkan menerbitkan beberapa karya tulisku keberbagai media masa. Hingga angganku berlanjut, seandainya aku menjadi seorang sastrawan legendaris seperti Chairil Anwar. Betapa sungguh bangganya aku. Meskipun badan berkalang tanah, namun nama tetap dikenang sepanjang masa. Dan seandainya aku bisa seperti Taufik Ismail, WS. Rendra ataupun sastrawan terkenal lainnya tentu aku akan mendirikan kelompok teater. Suatu wadah kesenian yang akan kuberi nama Fatamorgana. Ya, tepat sekali. Aku suka kata Fatamorgana yang berarti bayang-bayang semu. Tipuan mata.
Deghhh… kali ini aku lamuanku tersadar dengan sendirinya. Tanpa adanya petir ataupun suara gemuruh. Lalu kesadaran akal sadar, bahwa apa yang aku lamunkan tadi tak akan sanggup aku menggapainya semua. Memang aku sudah bisa menghasilkan beberapa karya. Tapi semua karyaku tak berharga. Semuanya berbau picisan. Tak mengandung makna berarti.
Tanpa aku sadari, ternyata aku telah merendahkan diri dan karya-karya yang selama ini aku hasilkan. Akal sehatku berkata. Bagaimana mungkin aku menjadi seorang sastrawan legendaris, sedangkan usahaku menjadi seorang penulis amatiran saja tak mampu. Tak tekun. Pemalas! Mungkin saja aku pantasnya menjadi seorang maling yang hanya memmikirkan bagaimana caranya agar dapat masuk rumah orang dengan selamat dan berhasil menguras seluruh harta pemiliknya. Jika demikian benarnya, tentu aku akan lebih bergantung pada nasib daripada berusaha dan berkarya.
Entah mengapa rasanya aku ingin berteriak melawan petir yang masih menyisa dengan suara yang meledak-ledak.
“Aaa…a…a… Dasar manusia bodoh!!”
Dengan sekejap semua orang menyemut di depan pagar kosanku. Mereka semua menatap tajam kearahku. Terlihat dari setiap tatapan matanya menunjukan amarah dan rasa kejengkelan. Tapi mataku tiba-tiba berani membalas tatapan tajam mereka. Satu-persatu. Aku tidak tau tujuan sebenarnya mereka menatapku seperti itu. Entah apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Aku hanya diam. Lalu tanpa kusadari tiga orang pemuda tinggi besar berotot melangkah mendekatiku. Tanpa alasan yang jelas, mereka menghadiahiku satu pukulan yang mendarat tepat di pipi kananku.
“Arrrgh!”
Sekejap pukulan keras itu membuatku tersungkur ke lantai. Beberapa orang pemuda lagi maju bersama tiga pemuda yang tadi menyerangku. Lalu dengan langkah sergap namun pasti mereka makin murka kepadaku. Menghantamkan kembali kepalan tangan dan tendangan kakinya. Membabi buta tanpa memedulikan keadaanku yang sudah sekarat.
“Dasar gembel, pembawa sial. Mati kau!” ucap salah satu seorang pemuda yang menganiayaku. Sedangkan keadaanku sendiri, sekarang yang aku rasakan hanya kegelapan yang ada. Aku juga tak bisa berbuat apa-apa selain diam menahan sakit yang terasa di sekujur tubuh. Aku tak mengira semua ini akan terjadi kepadaku. Khayalan atau kenyataan adanya? Tapi rasa amarah pemuda-pemuda itu kepadaku tak ada habisnya. Mereka tetap memukuliku habis-habisan. Seolah-olah aku di mata mereka seorang maling yang tertangkap basah saat beraksi.
“Kamu memang benar-benar sampah masyarakat!”
Hantaman demi hantaman tetap datang membuat aku makin tersungkur. Aku tak sanggup lagi menerima semua ini. Kucoba pejamkan mata erat-erat dan menutup mukaku dengan kedua telapak tangan. Namun tiba-tiba, sesuatu menghardikku….
“Hei!!! …. Jangan tidur saja kau! Sudah malam. Ayo berangkat ke kampus.”
Aku tersadar. Di sampingku ada temanku si Doni. Aku mengerjapkan kedua mataku. Lalu kuamati bagian tubuhku, ternyata di sekujur tubuhku tak ada tanda-tanda memar luka pukulan. Lalu rasa keherananku bertanya-tanya. Kemana perginya pemuda-pemuda yang memukuliku tadi? Tapi anehnya posisiku juga masih duduk manis di kursi. Dan kutolehkan ke arah barat, senja telah menghilang. Petir menghilang. Hujanpun sudah tak terlihat lagi air berjatuhan. Sekarang yang ada hanya kegelapan malam. Wahhh, mungkinkah tadi aku hanya bermimpi?
###

Malam semakin larut dalam kegelapan. Angin berhembus kencang memainkan tali helm yang aku pakai tapi talinya memang sengaja tidak aku ikatkan. Jalanan terasa makin malam makin enak untuk dipandang. Deretan kendaraan berlalu-lalang dengan sendirinya. Lampu terangnya makin menerangi garis tepi maupun tengah aspal. Sinarnya bak pengganti sinar terangnya sang rembulan dan bebintang yang malam ini mereka memang tak nampak di langit. Mungkin mereka semua malam ini ada rapat besar dengan orbit-orbit lain di luar angkasa. Rapat besar membicarakan masalah kiamat. Mungkin saja itu ada benarnya. Mereka semua merasa kesal dengan ulah manusia terhadapnya yang dikaitkan dengan datangnya kiamat. Karena akhir-akhir ini memang benar manusia gencar-gencarnya membicarakan datangnya kiamat di tahun mendatang. Ahhh, tapi kenyataan dan kebenarannya tentang datangnya kiamat kapan jadinya? Manusia hanya bisa pasrah. Biarkanlah takdir yang menjawab kiamatnya manusia….
“Hoe, Gading? Selamat yaa…..”
Bagus si sekertaris di organisasi yang aku pimpin dengan segerombolan mahasiswa lainnya menghampiriku. Ia nampak begitu bergembira akan kedatanganku. Barusaja aku hendak meletakkan helmku pada sepion kanan motor, ia secepat kilat menyambar dan memelukku dengan tiba-tiba. Aku sendiri merasakan keheranan pada tingkah sekertarisku ini.
“Selamat Bro… Fatamorgana sukses!”
Sukses. Apa maksud dari sekertaris dan juga sebagai kawan akrabku ini. Ada apa dengan Fatamorgana dengan kesuksesan? Lalu aku digiring Bagus menuju sanggar anak-anak Fatamorgana. Ternyata di dalam mereka terlihat sudah menantikan kehadiranku dari tadi. Anehnya mereka semua juga mengucapkan selamat kepadaku. Rasa kegembiraan juga terpancar dari raut wajah mereka.
Salah satu dari anak-anak perintis dan memperjuangkan keberadaan Fatamorgana agar mampu eksis di kampusku ini menyerahkan selebaran kertas kepadaku. Tapi sekilas aku melihat isi kertas itu membuat kesadaranku tergoncah. Dalam benakku bertanya-tanya.
Benarkah ini? Kenyataankah mimpiku dan teman-temanku akan keberadaan Fatamorgana yang selama ini kami nanti-nantikan keeksisannya di kampu kami?
Tubuhku tergoncang hebat. Keringatku mulai bercucuran dikit-dikit membasahi wajahku. Tapi satu yang aku rasakan. Ternyata usaha dan jerihpayahku yang akhir-akhir ini aku lakukaan dengan gigih bersama teman-temanku berhasil juga. Tepatnya Rektor telah menyetujui keberadaan Fatamorgana untuk ikut eksis berdiri di kampus Pelita ini. Yang memberikan wadah bagi mahasiswa yang akan haus akan dunia teater dan kesenian.
Benar-benar kabar yang membahagiakan. Lalu sesegera mungkin aku melakukan rapat bersama. Aku yang memimpin. Merapatkan akan pelaksanaan acara yang akan kami selenggarakan untuk ucap syukur atas keberhasilan uasaha yang kami lakukan.
Ahhh, sungguh adil. Usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh ternyata berbuah hasil yang tidak mengecewakan. Bertahap aku menata mimpiku yang selama ini aku angankan kebesarannya. Pastinya ini aku lakuakan juga bersama teman-temanku. Mimpi bagi penghaus dunia pecinta seni. Keberadaan Fatamorgana semoga saja mampu menjembatani impian yang kami bangun. Kini Fatamorgana merupakan kenyataan. Tidak lagi hanya sebatas angan atau bayang semu.
###