Jumat, 22 Oktober 2010

Dialektika Kelamin (Sebuah Puisi)

Dialektika Kelamin
Oleh: Midun Aliassyah

Kau bunga tak bersahaja?
Kau kumbang tak bertuan?
Kau kuda tak berekor?
Kau koboi tak berpistol?
Kau tanah tak berhama?
Kau batu tak berlumut?
Kau gunung tak berteman?
Kau tebing tak berjurang?
Kau taman tak berbunga?
Kau pohon tak beranting?
Ahh, kita sama-sama bisu, malu mengatakannya?!
Kau lubang tak melingkar?
Kau tongkat tak menali?
Kau danau tak mengalir?
Kau air tak mencair?
Kau betina tak merawan?
Kau pria tak menjaka?!
Semua itu, hanya takdir yang tahu!





Tobatnya Seorang Marabunta

Wajah tersipu air munajah
Tangan berwudlu niat diucap
Basuh menyapu hadats menghilang.
Ikhlas menggetarkan raga,
Masuk ke celah-celah kecil berongga.
Menutup dosa, membuka takwa.

Jasad terma’tuf dalam kepasrahan
Meraba luka, menyadap kemurtadan kelam
yang telah lama membelenggu iman.
Hingga saat tersadar, dalam heningan malam
Menemukan satu jalan yang selama ini
terjaga oleh denah-Nya.

Kalimah tasbih memuja,
Deretan asma-Mu menjelma menjadi cahya.
Tuhan…..
Hamba pendusta dari segala,
Durhaka kepada sang bunda.
Hina, kotor, aids adalah jiwa
Pecandu, penghisab sabu-sabu
Perawan tua, bahkan terdaya.
semua itu terlandas oleh nafsu.
Musyafir

Telah berapa lama sudah, terdampar di lubang lumpur kehidupan
Tak jua beranjak pergi, tak urung niat hati ini.
Mungkinkah mengarungi samudera kelam adalah keharusan
Tuk bangkit dari keterpurukan ini!
Akankah daya mampu melepaskan buana yang penuh kesialan ini!

Jika kebangkitan adalah matahari,
Kapan ia terbit menghampiri?
Tidakkah ia setombak dzhuha
Cerahnya sebinar mata menggantung harap!
Akankah merajut kefanaan ini adalah keharusan lagi!
Jika benar, izinkan jiwa terobsesi oleh motivasi
Saatnya bangkit….
Berdiri….
Beranjak….
Berlari….
mengejar ketertinggalan waktu yang terbuang
hingga mata ini mampu lagi menatap cakrawala kehidupan,
melanjutkan dayung kerapuhan biduk kehidupan.
Setapak demi setapak langkah kaki menuai idealisme diri
menjadi pijakkan jalan Ilahi.


Bianglala Kelabu

Masa tertelan bias asmara
Mampu melukiskan sketsa hati
Bias, lembut menggurat takdir
Lama mengembang berpori-pori dalam rongga.
Ahhh, inikah bianglala rasa….
Indah warna, tapi sayu akan gelora
Guratanpun sirna oleh luka cinta
Bias mata, tuli suara, genangan fatamorgana.
Tapi satu yang ku mau….
Aku ingin kembali dalam anganmu
Angan kelam yang telah lama hilang
Biarkan memupus lagi dalam rona-rona wajahmu.